Jumat, 01 Oktober 2010

Drama 6 babak Srimulyani

Tentu masih fresh diingatan kita beberapa bulan yang lalu media kita diramaikan dengan drama kasus century yang aktor dan aktris utamanya adalah Bapak Boediono dan Ibu Sri Mulyani. Kedua orang ini diduga sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap hilangnya 6.7 Triliun uang Negara. Semua elemen masyarakat ramai-ramai turun ke jalan dengan dalih menyalurkan aspirasi di negeri demokrasi ini. Dengan tujuan utama turunkan Boediono dan Sri Mulyani. Selang beberapa bulan setelah drama panggung century di DPR selesai, awal bulan Mei ini rakyat Indonesia dikejutkan dengan kabar ditunjuknya Sri Mulyani sebagai direktur pelaksana Bank Dunia (world bank). Tidak tanggung-tanggung di posisi itu Sri Mulyani akan memegang tiga wilayah atau akan mengawasi tiga kawasan dunia. Wilayah tersebut, yaitu Amerika Latin dan Karibia, Timur Tengah dan Afrika Utara, dan Asia Timur dan Pasifik dan Dia juga akan mengawasi Kelompok Sistem Informasi seperti yang dikatakan oleh Presiden World Bank Robert B Zoellick, dalam situs World Bank kemarin.
Penunjukkan Sri Mulyani sebagai direktur pelaksana Bank Dunia kembali melahirkan kontroversi. Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa ini adalah suatu kebanggaan buat negeri ini, karena salah satu warganya mampu tampil dan berkontribusi di level dunia (baca: bank dunia). Tapi bagi sebagai bagian kalangan yang lain mengatakan bahwa ini salah satu kesempatan (atau mungkin satu-satunya) bagi Sri Mulyani untuk menghindar dari kasus Bank Century dan Sri Mulyani memilih ini (baca: memilih bank dunia).
Setiap pilihan memang akan menyebabkan dampak sendiri-sendiri dan Sri Mulyani sudah memutuskan untuk mengambil jabatan direktur pelaksana Bank Dunia. Suatu jabatan yang prestise dari pada Menteri Keuangan republic Indonesia, apalagi menjadi menteri keuangan ibarat duduk di kursi retak yang setiap saat bisa patah (baca: jatuh).
Ditunjuknya Sri Mulyani sebagai direktur pelaksana Bank Dunia sekali lagi-terlepas dari kasus century yang ia hadapi-mengindikasikan bahwa warga bangsa ini masih dilirik oleh masyarakat dunia. Kita lihat Bapak Habiebie dengan kecerdasannya mampu menjadi orang yang penting di Jerman sana. Satu yang menyamakan Bapak Habiebie dengan Sri Mulyani bahwa mereka sama-sama orang “buangan” dari bangsa ini yang menjadi emas di negeri orang. Kecerdasan mereka sangat dihargai oleh bangsa asing.
Back to Sri Mulyani, apapun yang terjadi pada Sri Mulyani kita wajib percaya bahwa ini semua adalah drama yang sudah diskenariokan oleh Tuhan yang maha kuasa. Drama yang semua manusia mempunyai kisah-kisahnya tersendiri.

Nb: cerita tidak nyambung dengan judul, memang sengaja dibuat penulis seperti itu.

Mahasiswa, dimana kau sekarang?!

12 tahun sudah kita merasakan angin reformasi di negeri ini. Angin yang membawa sejuta harapan bagi bangsa ini kearah yang lebih baik. Tentu kita tahu bersama siapa yang membawa angin perubahan angin reformasi itu, tidak lain tidak bukan adalah mahasiswa. Mahasiswa sebagai agent of change, moral force, dan iron stock pada zaman (baca: tahun) itu telah berhasil membawa bangsa ini ke gerbang pintu REFORMASI. Kemudian apakah kita sudah sampai pada tujuan yang diharapkan pada tahun 1998 itu?!. Sebuah pertanyaan kelasik memang, tapi kita harus menjawabnya agar kita tahu mana yang harus dan perlu kita kerjakan sekarang.
Tujuan besar dari reformasi secara garis besar kala itu adalah terbentuknya pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN yang kala itu menyebar di seluruh sendi-sendi lembaga pemerintahan bagaikan jamur di musim hujan. Kala itu mahasiswa datang bak pahlawan yang dielu-elukan. Pahlawan yang siap mengorbankan seluruh jiwa, raga, dan harta yang ia punya untuk negeri dan bangsa ini. Tapi sekarang dimana pahlawan-pahlawan itu? Dimana mahasiswa itu yang rela mengorbankan segalanya yang ia punya untuk bangsa ini?

12 tahun berlalu, mahasiswa yang kala itu (1998) sangat vocal (baca: kritis) terhadap pemerintah satu per satu mulai masuk dalam pentas perpolitikan Indonesia, mereka berbondong-bondong masuk dalam partai politik atau bahkan mereka membentuk partai politik baru. Tentu kita tidak boleh melarang mereka untuk masuk dalam perpolitikan Indonesia, karena itu adalah hak mereka. Tapi yang perlu kita tahu adalah apakah ketika mereka sudah masuk dalam pentas perpolitikan Indonesia mereka sudah mampu merealisasikan apa yang mereka gembor-gemborkan 12 tahun lalu atau bahkan mereka terlibat atau tersangkut dengan sesuatu yang mereka perjuangkan 12 tahun lalu itu. Silahkan kita lihat saja fenomena di lapangan sekarang, saya rasa masyarakat kita sudah cukup pintar untuk menilainya secara objektif.
Mahasiswa sekarang?!
Tidak banyak yang bisa kita harapkan dari mahasiswa sekarang, mahasiswa yang dulu (pada zaman orde baru) masih pantas mendapat predikat agent of change, moral force, dan iron stock, dan mahasiswa sekarang sudah dirasa penulis tidak pantas menyandang predikat-predikat itu. Kita lihat fenomena yang berkembang sekarang, universitas-universitas di Indonesia banyak bermunculan yang melahirkan dan mencetak mahasiswa. Tapi yang dicetak kebanyakan adalah mahasiswa apatis dan mahasiswa pragmatis (menurut hemat penulis). Mahasiswa yang sudah tidak peduli akan lingkungannya (sosial, ekonomi, politik, dan budaya), hanya peduli akan kepentingan dirinya sendiri. Kita lihat sekarang mulai lunturnya budaya diskusi kampus yang membicarakan permasalahan-permasalahan bangsa ini. Mereka (baca: mahasiswa sekarang) lebih bersibuk-sibuk ria dengan kegiatan hedonisme dengan sedikit banyak mengabaikan apa yang sedang terjadi di bangsa dan negeri ini.
Akhirnya, bagi siapapun yang masih menyandang predikat mahasiswa, mari kita menjadi mahasiswa yang benar-benar berhak menyandang gelar agent of change, moral force, dan iron stock. Dan bersama-sama kita wujudkan apa-apa yang sudah menjadi cita-cita dan harapan reformasi. SEMOGA!!!

Pemakzulan Presiden, Lagi??!

Di bulan januari ini kasus skandal bank Century masih menjadi topic hangat media massa. Lihat saja KOMPAS, KOMPAS menaruh kasus Skandal Bank Century pada cover halaman depanya kurang lebih 19 kali dalam bulan januari ini. ini menjadi bertanda bagi kita semua (rakyat Indonesia) bahwa kasus Skandal Bank Century ini masih jauh dari kata selesai.
Dan yang terbaru adalah munculnya wacana pemakzulan presidan dan wakil presiden. Apa sebenarnya arti dari kata Pemakzulan itu sendiri? Mungkin pertanyaan itu sering muncul dalam benak kita. Dari apa yang penulis baca dari internet, Pemakzulan adalah sebuah proses dimana sebuah badan legislatif (dikenal dengan DPR) di Indonesia menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara.
Dalam artian kata lain Pemakzulan juga dikenal dengan istilah yang lebih populer, yiatu impeachment, dimana kata impeachment itu sendiri sering dipergunakan oleh negara luar dalam hal menjatuhkan hukuman terhadap pejabat tinggi negaranya oleh anggota Legislatif negara tersebut, dan salah satunya adalah pernah terjadi di Amerika Serikat.

Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan.
Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan pemecatan sang pejabat.
Pemakzulan berlaku di bawah undang-undang konstitusi di banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina, dan Republik Irlandia.

Sejarah pemakzulan presiden di Indonesia
Presiden pertama, Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun. Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPR yang menurunkan secara resminya. Hal itu terjadi karena secara defacto Soeharto memegang kekuasaan negara. Pemakzulan ini dengan cara “kudeta lembut”.
Presiden kedua, Soeharto dimakzulkan dengan paksaan halus juga setelah defacto rakyat tidak mendukungnya. Namun, Soeharto “tahu diri”, dia memakzulkan dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sangat cerdik dan “licin” sehingga lepas dari jerat untuk dibawa ke pengadilan.
Presiden keempat, “Gus Dur” yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh MPR. Menurut teori pemakzulan presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat: korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada “Gus Dur” tanpa dipanggil terlebuh dahulu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan tiba-tiba MPR langsung memakzulkannya. Contoh “masa lalu” pemakzulan “Gus Dur” adalah contoh yang jelas-jelas terlihat oleh semua pihak bahwa bagaimana lidah para politisi dan negarawan saat itu memiliki “lidah tak bertulang”.
Menurut UUD 1945 untuk memakzulkan presiden tidak mudah dan tidak sederhana dan harus menempuh perjalanan hukum yang panjang. Namun “Gus Dur” didepak begitu saja dari singgasana kepresidenan dengan suara hingar bingar wakil rakyat di Gedung DPR/MPR saat itu.

MK turun tangan
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memublikasikan peraturan pedoman beracara terkait dengan proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden.
Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berisi 23 pasal yang dibagi menjadi 10 bab.
Bab yang terdapat di dalamnya antara lain Bab I (Ketentuan Umum), Bab II (Pihak-Pihak), Bab III (Tata Cara Mengajukan Permohonan), Bab IV (Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang), dan Bab V (Persidangan).
Selain itu, terdapat pula Bab VI (Penghentian Proses Pemeriksaan), Bab VII (Rapat Permusyawaratan Hakim), Bab VIII (Putusan), Bab IX (Ketentuan Lain-Lain), dan Bab X (Ketentuan Penutup).
Berdasarkan Pasal 23 Peraturan MK No 21/2009, peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (yaitu tanggal 31 Desember 2009).
Sebelumnya, Ketua MK Moh Mahfud MD pada Rabu (30/12/2009) mengatakan, dirinya akan segera menandatangani peraturan MK tentang pedoman beracara terkait pemakzulan pada tanggal 31 Desember 2009.
"Sebelum Tahun Baru saya akan menandatangani peraturan MK tentang impeachment (pemakzulan)," kata Ketua MK Moh Mahfud MD ketika beraudiensi dengan sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat Anti-Korupsi (Kompak) di Gedung MK.
Menurut Mahfud, sebenarnya naskah peraturan MK tentang tata cara persidangan terkait pemakzulan di MK sudah ada sejak lama, tetapi hingga kini masih belum ditetapkan. Namun, ujar dia, iklim terkait dengan proses politik yang sedang terjadi saat ini membuat pihaknya memutuskan untuk segera menandatangani dan mengesahkannya.
Ia menegaskan, pihaknya sama sekali tidak ingin berandai-andai tentang proses pemakzulan, tetapi hanya ingin mempersiapkan diri bila sekiranya kondisi menunjukkan ke arah tersebut.
Ketua MK juga mengemukakan, pihaknya tidak akan mengintervensi atau terlibat dalam proses politik dan hanya akan menunggu perkembangan yang terjadi.
Kita tunggu saja apakah presiden dan wakil presiden yang dipilih 171.068.667 Orang itu akan dapat dengan mudah dimakzulkan oleh kurang lebih 560 orang (jumlah anggota DPR)….

NB: disadur dari beberapa artikel dan berita KOMPAS