Senin, 01 Februari 2010

Resensi Novel Negeri 5 Menara

        Seumur hidupnya Alif tidak pernah menginjak tanah di luar Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, main bola disawah dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba dia harus melintasi punggung Sumatera menuju sebuah desa dipelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah ibunya: belajar di Pondok.

         Dihari pertama di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakiti man jadda wa jadda”. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid, mereka menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berakar ke ufuk. Awan-awan itu menjelma menjadi Negara dan benua impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

         Negeri 5 Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogy. Ditulis oleh A. Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, penyuka fotografi, yang kini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi. Alumni Pondok Modern Gonto, HI Unpad, George Washington University, dan Royal Holloway, University of London ini meniatkan setengah royalty trilogy ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis volunteerism yang ingin menyediakan sekolah, perpustakaan, klinik dan dapur umum gratis buat kalangan yang tidak mampu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar