Jumat, 29 Januari 2010

Kata Ayah...

Setelah tikungan ini akan kutemukan rumah berwarna biru muda. Halamannya penuh dengan tanaman hias yang tertata rapi. Di dindingnya terpasang tulisan Hadi Sintara Jalan Panglima Sudirman 37A. Ya, Sintara. Nama belakang yang sama juga melekat pada namaku, Kinanti Sintara dan kakakku, Naga Sintara.
“Sudah jam 10 malam. Cepet tidur sana! Besok kan sekolah,” kata ayah sambil mencabut kabel TV lalu mematikan lampu.
Layaknya seorang prajurit yang mendengar perintah komandannya, aku tak bisa menolak perintah ayah. Tanpa banyak omong, aku langsung masuk kamar padahal film yang kutonton masih seru-serunya. Kulemparkan tubuhku ke atas ranjang lalu kucoba memejamkan mata tapi tiap sepuluh menit mataku selalu saja terbuka lagi. Kini jarum panjang sudah berputar tiga kali melewati angka 12 sejak jam sepuluh tadi. Kak Naga sudah pulang belum ya?

“Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kuliah nggak mau. Sekarang malah jadi sampah masyarakat!” kata-kata ayah yang keras itu membuatku bangkit dari ranjangku tapi aku tak berani keluar. Aku hanya berdiri dibalik pintu.
“Apa ayah bilang? Ayah bisa jamin kalau Naga kuliah, Naga bisa sukses? Naga emang nggak seperti ayah yang selalu pengen kuliah dan punya gelar tinggi. Ayah egois. Ayah ngga bisa maksa orang lain jadi seperti ayah!”
“Dasar otak udang! Orang bodoh kayak kamu mau jadi apa kalau nggak kuliah? Berapa kali ayah berurusan sama polisi saat kamu ketangkep ikut darkrace? Dari pada bikin malu terus, mendingan kamu keluar dari rumah!”
Brak...
Suara pintu yang dibanting dengan keras itu semakin membuatku takut. Ayah marah besar dan pasti kakak pergi dari rumah. Untuk kesekian kalinya. Badanku gemetar takut, keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi tubuhku. Tanpa sadar airmata mengalir menuruni pipiku. Pandanganku lalu tertuju pada wajah yang tampak sayu yang terlihat dari jendela kacaku. Sebuah wajah tertempel pada kaca jendelaku mencoba melihatku di dalam kamar. Tiba-tiba airmatanya luluh dan membasahi kaca. Saat ia melihatku tampak gemetar ketakutan di balik pintu lalu cepat-cepat ia pergi. Itu pasti Kak Naga.


Kini malam berganti siang dan matahari mulai berkoar-koar penuh semangat di langit seperti para mahasiswa yang sedang berorasi di Bundaran HI. Kulihat hari ini ayah bersikap seperti biasa. Seperti hari-hari biasa. Seolah-olah kemarin malam tidak terjadi apapun. Bahkan pada hari kelulusanku pun kulihat ayah bersikap seperti biasa. Biasa dan selalu saja biasa.
Tret...Tet...Tet...
Bunyi terompet diakhir upacara pelepasan siswa kelas 3 riuh terdengar. Semua segera menghambur keluar aula dan saling berjabat tangan.
“Kak Naga!” teriakku saat melihat Kak Naga di gerbang sekolah.
Cepat-cepat kupeluk tubuh laki-laki dekil itu. Rasanya aku nggak mau melepaskan Kak Naga walaupun dia bau banget. Bau keringat, bau badannya yang kemarin malam nggak mandi, dan bau yang satu ini pasti bau oli. Pasti semalam Kak Naga tidur di bengkel temannya. Semua bau-bau yang bisa bikin kambuh orang asma itu kini bercampur jadi satu pada tubuh Kak Naga. Kalau dia bukan kakakku, udah aku buang ke laut orang ini. Sayangnya dia kakakku dan aku sayang banget sama dia.
“Pelan-pelan donk Dek makannya!” kata Kak Naga sambil mengambil nasi yang nyasar di pipiku lalu mengelus kepalaku “Kok masih pake tas yang lama? Tas yang Kak Naga kasih mana?”
“Dirumah Kak. Inan sih suka tapi kata ayah nggak boleh di pake ke sekolah.”
“Ooh... Besok malam nonton Kak Naga balapan yuk!”
“Inan mau tapi kata ayah ngga boleh keluar malam. Kata ayah Jam 10 kan waktunya tidur.”
“Ehm... Beasiswa arsitek itu jadi kamu ambil kan Dek?”
“Inan sih pengen banget tapi kata ayah, Inan harus masuk kedokteran.”
“Dek, kamu itu bukan boneka suruhan orang tua itu! Dari tadi kamu bilang kata ayah, kata ayah selalu kata ayah. Kamu nggak boleh ini, nggak boleh itu. Bahkan kamu juga nggak boleh punya cita-cita sendiri? It’s your life dan kamu nggak boleh nurut gitu aja sama ayah yang selalu kamu banggain itu!”
“Kak Naga! Kakak itu harapan ayah apalagi setelah ibu meninggal tapi malah buat ayah kecewa. Ayah cuma berusaha untuk mewujudkan keinginan ibu. Ibu ingin kita semua berhasil. Kalau bukan Inan, siapa lagi yang akan jadi harapan ayah?”
“Pakaian jubah panjang dan topi yang serba hitam itu bukan suatu ukuran keberhasilan Dek! Ibu ingin kita berhasil bukan ingin kita jadi sarjana! Satu hal yang perlu Dek Inan inget! Hidup ini seperti tanah liat yang siap dibentuk terserah hati dan tangan ini. It’s mine.” Kak Naga memperlihatkan tangannya di hadapanku dan bekas luka di pergelangan tangannya terlihat jelas. “Ini adalah sedikit harga yang perlu kita bayar untuk cita-cita. Semua pilihan punya konsekuensi Dek dan Kak Naga percaya kamu berani untuk bersikap sekarang.”
Mungkin kata-kata Kak Naga benar. Kalau terus diam, Ayah pasti ngga tahu apa yang aku inginkan. Selama ini aku hanya menurut kata-kata Ayah. Meskipun aku nggak suka tapi tetap saja aku kerjakan karena aku nggak pernah cerita apa yang aku mau dan apa yang aku nggak suka. Ya, aku akan ngomong sama ayah. Ini adalah saat yang tepat.
Malam ini kulihat ayah sedang duduk di kursi teras belakang. Akan kubawakan secangkir teh hangat lalu aku akan bercerita tentang beasiswa itu. Saat aku kembali dari dapur ternyata ayah ketiduran di kursi. Kuselimuti tubuh ayah perlahan.
“Inan,” igau ayah. Ayah tampak gelisah. Keningnya berkerut-kerut menambah kulit wajahnya yang sudah penuh keriput. Apa yang beliau mimpikan?
Aku tersentak kaget dan mataku berhenti berkedip. Tiba-tiba airmataku meleleh jatuh di atas tangan ayah. Dalam mimpi saja ayah masih memangilku. Ayah membutuhkan aku. Aku tak mungkin meninggalkan ayah. Kalau aku pergi, ayah akan dirumah ini seorang diri. Siapa yang akan mengoreksi nilai-nilai ujian murid-muridnya? Ayah tak sanggup lagi kalau harus duduk terlalu lama. Punggungnya kan terasa sakit. Siapa yang akan menuliskan nilai dibuku raport murid-muridnya? Matanya tak setajam yang dulu untuk menulis angka dalam kolom-kolom sekecil itu. Siapa yang akan membuatkan secangkir teh setiap pagi? Ayah tak akan sempat untuk membuat teh dan sarapan seorang diri karena pagi-pagi benar, beliau sudah harus pergi ke sekolah.
Cita-cita hanya milik orang-orang seperti Kak Naga yang rela menanggung segala konsekuensi demi cita-citanya bukan untuk orang lemah seperti aku. Mungkin aku tak bisa meraih cita-citaku namun pilihan hidup yang diberikan oleh ayah bukanlah pilihan yang buruk. Dengan menjadi seorang dokter, aku akan bisa menjaga keluargaku. Aku bisa merawat mereka saat sakit dan melakukan segala cara untuk menyembuhkan mereka. Seandainya ibu tidak terlambat mendapat pertolongan dari dokter waktu itu, pasti akan lain ceritanya.
Pukul 12.10. Aku dan ayah sedang makan siang di meja makan. Apa aku sakit ya? Tapi sakit apa? Badan nggak panas, kepala nggak pusing, kelopak mata nggak pucat tapi rasanya aneh. Melihat nasi putih seperti liat onigiri, lihat tahu seperti lihat sushi, lihat sayur lodeh seperti lihat mie ramen. Huh,,seharusnya hari ini aku berangkat ke Jepang untuk beasiswa itu....
Tiba-tiba Kak Naga pulang ke rumah dan langsung marah-marah lalu mengatakan semuanya pada ayah tentang beasiswa kuliah arsitek di Jepang itu.
“Pergi! Tinggalkan ayah sendiri!” kata ayah.
“Nggak yah! Inan akan nemenin ayah terus,” hingga tanpa sadar tubuhku tersungkur dikaki ayah.
Ayah membantuku berdiri lalu menarik tanganku kuat-kuat sambil membawaku ke kamar. Tanpa melihatku, ayah memasukkan semua keperluanku ke dalam koper besar.
“Inan ngga akan kemana-kemana yah!” kataku sambil menutup almariku.
“Auchh,” seru ayah. Jari telunjuknya melepuh karena terjapit pintu almari yang kututup.
“Maafin Inan, Yah!” kutiup-tiup jari telunjuknya.
“Kamu membuat Ayah sakit Inan,” kata ayah lirih sambil menarik jarinya “Naga, antarkan adikmu ke bandara sekarang! Cepat!”
“Empat tahun itu lama Yah! Inan nggak mau pergi!”
“Ini kan yang kamu mau? Kenapa kamu nangis? Ini konsekuensi atas pilihan kamu. Siap atau nggak, kamu harus jalani.”
Disaat kami hendak berangkat ke bandara, batuk ayah kambuh lagi. Mana syal coklat rajutan ibu yang biasanya selalu ayah pakai? Biasanya ayah nggak pernah bisa lepas dari syal itu. Kuberlari pada ayah tapi Kak Naga lebih dulu menghampiri ayah dan memberikan jaket kulitnya.
“Jadi orang itu inget umur. Nggak usah buka les matematika lagi! Naga memang nggak kuliah ke Jepang kayak Dek Inan tapi Naga kemarin tandatangan kontrak kerja di tim balap bonafit dan resmi. Nggak ada drakrace, nggak ada panggilan ke kantor polisi lagi. Naga juga bisa bikin ayah bangga.”
Motor Kak Naga mulai bergerak perlahan keluar halaman rumah. Kulihat sebuah syal coklat tua berkibar keluar dari koperku yang sedikit terbuka. Kulihat dari kejauhan ayah menaikkan resleting jaketnya sampai menutupi leher lalu masuk ke dalam rumah. Kuambil syal itu dan kulilitkan di leherku.
“Inan sayang ayah...” kataku lirih sambil membenamkan wajahku pada punggung Kak Naga.
“Sekarang Kak Naga yang bakal jaga ayah, Dek”

Cerpen by Vena Pengen ke Jogja

4 komentar:

  1. sebuah cerpen y[g menarik. hmmm ... sebuah kisah yang sederhana, tapi dipadu dengan narasi dan dialog yang komunikatif sehinggaenak dibaca. teruslah berkarya! salam kreatif.

    BalasHapus
  2. Cerpen ini mengingatkanku pada masa kecil. Anak yang pemalas... namun serta merta cara pandangnya berubah karena sesuatu hal. Menarik sekali memperhatikan orang berhijrah dari yang buruk ke yang baik. Cerpen yang bagus untuk introspeksi dan pengembangan diri. Siip dah!

    BalasHapus